Monthly Archives: July 2014

Serunya Living on Board dari Lombok ke Labuanbajo

Let the sail trip begin

 Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu datang juga. Kamis 15 Mei, kami siap dijemput pukul 08.30 di depan Wisma Nusantara II. Asal tahu aja nih, Kencana Adventure emang punya fasilitas penjemputan untuk para tamu yang berada di area Mataram dan Senggigi. 

Kebetulan banget, Gita, salah satu tim agen nan cantik, mau menjemput kami. Semula kami kira bakal dijemput dengan bis besar, tapi ternyata tidak. Oww… dijemput secara personal ini mah (thanks berat ya Gita sayang. hihihi…). Rupanya bila dijemput bis, maka kami harus standby dari pukul 7 pagi lho. Kediaman Gita sendiri gak jauh dari tempat kami menginap. Beruntung? Pastinya. Perjalanan ke kantor Kencana sendiri kurang lebih sekitar 30-40 menit.

Diceritakan Gita, kegiatan di kantor Kencana setiap Senin dan Kamis memang ramai. Pasalnya, dua hari itu adalah jadwal keberangkatan Sail Trip dari Lombok menuju Labuan Bajo. Sambil menunggu kedatangan peserta lain, saya dan ulfa membereskan sisa transaksi, mencari penganan yang akhirnya memilih cafe di depan kantor Kencana (padahal ternyata ada warung indomie di seberang jalan, ouchhhh…), yang rada mahal buat kantong seorang backpacker 😀

Sekitar pukul 10.30, rombongan peserta sail trip akhirnya tiba juga. Di situ kami mendapat briefing singkat mengenai perjalanan yang akan ditempuh. Semula kami kira hanya kami sajalah peserta lokal yang ikut serta. Tapi tidak, ada juga lima orang peserta yang berwajah lokal (cihuyyyy.. paling gak, gak harus berbahasa Inggris muluw 😀). Belakangan baru ketahuan kalau mereka pun datang dari Jakarta.

Tempat tinggal kami selama di atas kapal

Jumlah peserta Sail Trip kali ini cukup banyak, yakni 23 orang. Padahal dari cerita-cerita yang saya baca di blog, mostly hanya 18 orang. Pun, bila sangat over quota akan menggunakan dua kapal. Karena badan kami kecil, akhirnya saya dan Ulfa serta seorangtraveller asal Jerman bernama Anja, diungsikan ke sebuah taksi.

Ha, taksi? Iya, taksi Express. Bis yang sejatinya jadi moda transportasi kami menuju pelabuhan Labuan Lombok, ternyata gak muat. Hihihihi… enggak apa juga sih, lumayan nyaman kok duduk manis di taksi. Tapi perjalanan menuju pelabuhan Labuan Lombok, lumayan jauh. Kurang lebih 2,5 jam kami harus menelusuri jalan.

Untungnya sih, kami masih dapat jatah makan siang plus buah nenas yang kecil namun manis. Nyummm deh pokoknya.. Pertemanan antara saya dan Anja pun dimulai. Tapi nggak cuma itu, keberuntungan berpihak pada kami yang lebih dulu tiba di pelabuhan. Berfoto sejenak di depan kapal yang masih bersandar, melihat dengan puas Gunung Tambora persis di depan mata, plus tagging tempat tidur lebih dulu ketimbang peserta lain. Yaiiiiii…

Kapal yang akan kami tumpangi tampak bersih, atau tepatnya baru saja di furnished alias cat ulang. Kondisinya sangat nyaman, atau cukuplah untuk menjadi “rumah” selama empat hari ke depan. Toiletnya benar-benar simply, dan hanya satu (duh… kudu atur waktu agar ritual pagi tetap dilakukan tanpa harus digedor2 orang. Hahahah…).

Baiklah, selang setengah jam menunggu, rombongan bis datang. Kami pun mulai bersiap diri. Seluruh tas bawaan yang besar diletakan dalam palka. Dari total peserta, total 7 lokal which is kami dari Jakarta dan lainnya berasal dari banyak negara, Spanyol, Perancis, Rusia, Inggris, Belanda, dan Jerman. Atau begitulah yang saya ingat.

Kapal bersandar di Pelabuhan Labuan Lombok, persis depan Gunung Tambora

Time to sail
Sang Kapten yakni Pak Abdullah mulai menjalankan mesin, dibantu oleh tiga rekannya, Wahyu, Anto, dan Kris. Pemandu kami sendiri memperkenalkan diri sebagai Adi. Perlahan dan pasti kami meninggalkan pelabuhan menuju Gili Bola untuk melihat sunset dan bermalam. Di sini, semuanya masih jaim, enggak banyak yang mulai berkenalan. Si tim bule duduk-duduk manis berjemur di bagian depan kapal. Sementara kami para lokal kebanyakan hanya duduk manis di bagian tengah, sambil memandangi alam sekitar. Itu pun kami belum resmi berkenalan 😀 hahaha…

Seperti yang saya bilang, saya bukan penggemar laut. Jadi di perjalanan pertama itu, puas dengan tengok kanan-kiri yang ada cuma air (ya iyalahhh kan menelusuri lautttt 😛). Akhirnya di tengah angin yang sepoi-sepoi saya memutuskan untuk rehat sejenak, memanjangkan kaki di tempat tidur dan Zzzz… Z….zZZZ…. blas!! Sunset dah kelewat, saya pun melewati sunset pertama di atas kapal. Huaaaaa.. tak apa saudara-saudara, masih ada sunset lain esok hari.

Para turis yang sudah berjemur sesaat setelah kapal bergerak

Serunya nih, seluruh kru kapal dan Adi rupanya jadi tim masak buat kami para peserta. Alhasil saya pun janji siap bantu untuk esok pagi. Acara makan malam itu masih hambar. Semua masih santai sama diri masing-masing. Ambil makanan dan semua duduk manis di pinggiran kapal. Buat info aja nih, nggak usah malu kalau lapar alias mau nambah. Ambil aja bila masih ada nasi dan lauk sayur. Untuk lauk ikan atau telur biasanya sudah dijatah. Yang ini sih harus sadar diri 😀

Obrolan ringan sudah mulai saya dan ulfa lancarkan. Tim dari Jakarta lainnya ada Dina, Lili, Thomas, Bobby dan Mail. Untuk rekan seperjalanan yang lain, hanya Anja saja yang lebih banyak berinteraksi dengan kami (ini efek se-taksi sih, jadi kesannya lebih akrab. hehehe…).

Enggak banyak yang kami lakukan malam itu. Perut kenyang, mata pun mengantuk plus buaian angin membuat kami harus berkemas tidur. Persiapan yang matang telah kami lakukan. Selimut yang diberikan, saya jadikan alas. Maklum, kasurnya agak lembab, pun saya tak mau acara tidur terganggu dengan gatal yang mungkin terjadi. Sarung, bantal kecil dan pasmina jadi senjata tidur saya. Sementara ulfa, menambah jurus kaos kaki untuk tidur.

Si bule-bule ini mungkin merasa aneh melihat kami terbungkus rapat. Tapi peduli amat, yang penting kami tidur dengan nyamannya. Siapa sangka, ternyata malam hari angin kencang datang dan rekan-rekan ‘bule’ itu kedinginan. Hahahaha… (kan kan… lebih baik ada persiapan di awal kan?)

Sunrise pertama saat living on board

Jelang pagi, saya bersiap diri untuk menyapa Pak Mentari. Ada kekaguman dan keindahan tersendiri kalau bisa melihat matahari dari belahan propinsi lain di Indonesia. Rupanya Anja pun sudah bersiap di depan kapal untuk melihat sunset dari atas kapal yang bergerak menuju Pulau Moyo. Di sini, tempat snorkle pertama untuk melihat indahnya karang-karang nan cantik Moyo, sekaligus menghampiri air terjun di tengah hutan yang entah mengapa tawar.

Saya yang agak ‘takut’ dengan laut, menumpang sampan dengan Pak Abdullah, yang bersiap membawa peralatan yang akan dicuci. Haha… seru sih, saya emang penakut. Renang boleh jago, tapi buat berenang tanpa dasar di laut, mikir-mikir 😀 hihihi… Sampai di tepi, sang Kapten langsung sigap mencuci dan mencuci. Air yang jernih bikin geregetan sebenarnya, dan pertemuan antara air tawar dan air laut, membuat air tampak seperti seperti berminyak. Padahal sih itu benar-benar proses alami, di mana air tawar bertemu dengan air laut.

Puas mandi sejenak di tepi laut, kami mulai menjelajah ke tengah hutan. Sekitar 300 meter, dan melewati lima aliran sungai kecil, kami pun tiba. Karena sudah diinfo, ini merupakan acara “mandi” air tawar terakhir, saya sudah berbekal botol kosong agar diisi dengan air tawar. Ini perlu untuk setidaknya untuk acara cuci muka, lap badan dan cuci rambut kilat.

Keknya puas setelah semalam kami tidak ada acara mandi, dan kesan untuk ke depan tanpa mandi membuat kami berpuas diri di bawah terpaan air terjun. Acara foto-foto juga gak ketinggalan. Semua terdokumentasi dengan baik. Tapi memang di sini kami tidak tinggal lama, perjalanan harus dilakukan ke Pulau Satonda. Again, karena saya sudah mandi dan enggan berenang jauh ke kapal, saya kembali menumpang sampan 😀 sayang kan udah bersih trus kena air asin lagi (hahaha… manja deh).

Bareng traveller Jakarta yang juga ikut sail trip. Ini di danau air laut, Satonda

Tiba di Satonda lain cerita. Kami diangkut dengan sampan bermesin untuk sampai ke tepi. Di Pulau Satonda, ada danau air laut yang lumayan besar. Unik sebenarnya, apalagi di sekelilingnya sangat asri dengan pohon-pohon. Lantaran tak ada yang menarik di danau air asin itu, kami memutuskan kembali ke tepi pantai. Oh ya, tak lupa kami berfoto dulu. Kali ini foto grup dengan tim Jakarta.

Di tepi pantai, sudah banyak teman-teman yang snorkeling. Jauh pun. Saya hanya bisa memandang dari jauh. Tak apa sih, rasanya masih penakut buat berkenalan dengan air laut dan menjelajah ke tengah. Sebenarnya di Pulau Satonda ini tersedia air bilasan air tawar. Cukup membayar Rp5.000 saja, maka sudah bisa mandi.

Ada kejadian yang mencengangkan sebenarnya. Kala itu saya berencana untuk ikut mandi, walau belum ‘kencan’ dengan air laut. Tapi melihat kondisi ruang mandi yang banyak lebah beterbangan dan gak sreg, akhirnya batal. Namun begitu Ulfa dan Dina serta Thomas, yang sudah berakrab ria dengan air laut memutuskan untuk mandi.

Apa yang terjadi? Huaaa… Mengagetkan. Thomas disengat lebah pada bagian kaki, aksi teriak dilakukan. Di saat bersamaan, rupanya Dina pun berjumpa dengan ular kecil yang hendak keluar dari ruang mandi. Huuaaaaa.. Beruntung tidak ada insiden yang berarti, semua masih dalam lindungan yang masa kuasa. Lepas dari rasa kaget, kami pun harus bebenah meninggalkan Satonda untuk bergerak menuju Gili Laba.

Foto bareng sang Kapten dan Mas Kris si ABK

Untuk mencapai Gili Laba, dibutuhkan waktu 18 jam perjalanan. Dan dari awal, banyak info yang mengatakan bahwa malam kedua ini akan jauh terombang-ambing. Oh yeah benar. Semula saya sih gak terlalu ambil pusing. Masih bisa bercengkrama. Jelang sore, kepala mulai kliyengan transaksi antimo dengan ulfa pun saya lakukan sambil merebahkan diri.

Memang waktu tak terasa, tau-tau sudah malam dan jatah makan malam sudah siap tersaji. Wah, kliyengan tanpa juntrungan, perut sudah tak bisa kompromi, akhirnya saya putuskan untuk mengambil ransum sedikit. Itu pun biar tak masuk angin. Tapi ternyata perut tidak bisa diajak kompromi, kali ini saya ngaku kalah. Piring makan saya letakan, langsung menghadap jendela kapal dan JACKPOT!!!

Oalaaahhhh… Dan rupanya nggak cuma saya yang mabok laut. Tim Jakarta, dipastikan tepar. Apalagi transaksi antimo kembali berlaku, dan dua tablet antimo sudah saya timpa. Hahaha… Daripada kepanjangan, mending cari amannya saja, tidur.

Tak disangka-sangka, di tengah lelapnya saya tidur, ternyata kapal sempat beberapa kali terhenti dan rusak. Sayup-sayup saya mendengar Pak Kapten dan kru berusaha untuk memperbaiki mesin, kembali jalan dan kembali tersendat. Entah apalagi, yang saya tahu antimo benar-benar membantu perjalanan saya dan ini sepertinya berlaku untuk teman-teman dari Jakarta yang juga tepar karena mabuk. Hahaha… ini bukan maksud iklan lho…

(bersambung)

Categories: 2014, Travelling | Tags: , , , , , , , , | Leave a comment

Blog at WordPress.com.