Monthly Archives: September 2017

Ragam Wisata Menarik Kota Bukittinggi

Salah satu panorama di Kota Bukittinggi

Masih semangat menjelajah provinsi Sumatra Barat, saatnya eksplorasi Bukittinggi dan Payakumbuh 

Tak terasa sudah hari kelima kami ngebolang. Rasanya masih tak percaya bisa menjelajah banyak kota dalam satu trip. Rute mini bus yang mengantar kami ke Bukittinggi, ternyata melewati kawasan di mana Istano Rajo Basa Pagaruyung berada. Sayang, kami tidak ada waktu untuk melipir sejenak. Apalagi hanya tersisa dua hari untuk bisa eksplor Bukittinggi dan menikmati kelok 44 di Kota Payakumbuh, tujuan kami ke Rumah Hamka dan mengintip Danau Maninjau dari jauh.

Jam Gadang yang legendaris

Berkat teknologi dan hasil browsing, banyak tempat wisata yang bisa kami tuju di Kota Bukittinggi. Jam Gadang, tentu jadi salah satu lokasi yang wajib, termasuk mengunjungi pasar tertua di belakang jam gadang tersebut. Buat kulineran, carilah kedai Sate Padang Saiyo Mak Katik di Pasar Atas atau Nasi Kapau Ni Lis, pokoknya wajib coba biar ikut kekinian.

Untuk wisata kota, bisa dengan berjalan kaki atau naik angkot. Jangan segan untuk bertanya, karena bisa sesat di jalan nanti. Hehehe… Wisata kota kami nikmati dengan santai dengan berjalan menelusuri pasar, mencari isi perut berupa Nasi Kapau Ni Lis. Dari sini kami memang sengaja untuk berjalan kaki menuju Rumah Kelahiran Bung Hatta.

Berada di tepi jalan, mungkin bila tak ada plang penunjuk, tak ada yang ‘ngeh’ bila di sinilah tempat kelahiran salah satu proklamator bangsa. Rumah berlantai dua, masih terbuat dari kayu, asri dengan taman kecil di bagian depan dan belakang. Di sini, diperlihatkan kamar Bung Hatta kala masih kecil. Tak terkecuali lumbung padi di bagian belakang. Menariknya, kami bisa duduk santai di lantai dua ditemani dengan sepoinya angin. Padahal saat itu matahari cukup terik.

Pastikan kamu juga mampir ke sini bila sedang ke Bukittinggi. Dan nggak ketinggalan, kami juga mengunjungi benteng Fort de Kock (yang menurut saya biasa aja). Tapi ada satu jembatan yang bisa melihat panorama seperti foto pertama di atas. Rumah penduduk nan padat, langit biru, diisi awan putih, dengan latar belakang gunung. Cantik!

Seperti lukisan, kawasan ini cantik luar biasa dengan monyet abu bebas berkeliaran

Panorama Ngarai Sianok juga nggak kalah cantiknya. Bagaikan melihat sebuah foto, di lokasi ini banyak monyet abu berkeliaran bebas, jadi super hati-hati dengan barang bawaan ya. Dengan banyaknya pohon besar dan rindang, semilir angin serta ngarai yang begitu indah, bikin malas bergerak. Beneran deh, sampai bisa tertidur sejenak dengan sepoi-sepoinya angin. Perfect!

Masih ingat Bu Netty empunya rumah gadang di Solok Selatan? Ya, berkat beliau kami bisa menghubungi Bu Nelly sang adik yang tinggal di Bukittinggi. Setelah sepakat untuk bertemu di depan hotel tempat kami menginap, kami akan ngebolang ke Kota Payakumbuh. Kami sengaja menyewa mobil milik Bu Nelly beserta Pak Supir, yang setidaknya sangat nyaman buat kami pindah kota.

Sedikit tertutup awan hitam, Lembah Harau tetap cantik

Ya, waktu ngebolang hanya tersisa satu hari. Besok kami harus bersiap pulang ke Jakarta, jadi harus super dimanfaatkan hari ini untuk bisa mengunjungi beberapa tempat wisata. Tujuannya cukup banyak, tapi kami memang memilih rute yang searah. Kami tidak ingin melewatkan Lembah Harau yang juga wajib kunjung. Sayang saat kami tiba, langit cukup mendung jadi kurang cantik untuk difoto. Tapi nggak masalah, masih bisa buat jeprat-jepret kamera. Hehehe..

Destinasi berikutnya adalah napak tilas ke Rumah Tan Malaka di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Payakumbuh. Sempat terlewat karena tidak melihat plang besar yang menempel di rumah keluarga Tan Malaka. Dari depan perkarangan rumah, kami harus berjalan ke dalam dan tampak halaman yang luas dengan sebuah rumah tua. Dari jalan utama, hanya tampak belakang sebuah rumah tua.

Rumah Tan Malaka di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Payakumbuh

Bangunannya terkesan tua dan tidak terurus, padahal bangunan dari papan dengan lima buah gonjong ini menjadi saksi bisu keberadaan Sutan Ibrahim Gelar Datuk Malaka atau dikenal dengan sebutan Tan Malaka. Tidak ada petugas penjaga, kami perlahan masuk ke dalam rumah. Derit kayu menemani langkah kami saat melewati ruang demi ruang. Kayu-kayu pondasi mulai dimakan rayap, meja dan lemari terbengkalai begitu saja, tak terkecuali foto-foto tua yang usang.

Saya pribadi sangat menyayangkan, keturunan Tan Malaka tinggal di rumah beton, tapi rumah tua bersejarah ini diabaikan. Konon, tidak mudah memelihara rumah tua bersejarah ini karena diperlukan biaya maintenance yang cukup besar. Peran serta dari pemda setempat juga sepertinya kurang, alhasil Rumah Tan Malaka perlahan akan menghilang jika dibiarkan.

Sudahlah, satu tempat bersejarah berhasil kami kunjungi. Satu tempat lagi yang harus bisa kami lihat, Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka. Lokasinya harus melewati Kelok 44 dengan pemandangan Danau Maninjau dari jauh. Semula kami hendak menginap di lokasi ini setidaknya satu hari, tapi karena akses untuk kembali ke Kota Padang yang cukup jauh, akhirnya rencana itu dibatalkan.

Saat kami tiba di lokasi, museum itu terlihat tutup. Kami pun bertanya kepada siapa untuk bisa masuk dan melihat. Sayang kan, sudah jauh datang tapi tidak bisa menengok ke dalam. Kata penduduk setempat, penjaganya sedang keluar. Apa mungkin karena tamu domestik, jadi kami diabaikan? Semoga saja tidak. Karena itu kami sejenak berjalan ke sekitar danau untuk mencari penganan kecil. Asumsinya kami akan segera kembali ke museum.

Tahukah apa yang terjadi saat kami tiba? Ada sebuah bus pariwisata besar dan mereka sudah masuk ke dalam museum. Weleehhhh… Usut punya usut mereka adalah tamu dari negeri sebrang, dan sang penjaga museum sempat memberikan penjelasan soal museum ini. Bahhhhh!!!! Kami pun akhirnya nimbrung, terkesan sebodo amat, tapi ya gimana, bukan salah kita toh.

Saat para wisatawan itu mulai meninggalkan lokasi, tiba-tiba kami yang di dalam harus merasakan mati listrik. Atau dimatikan sebagai petanda museum tutup? Nggak tahu deh, mau berspekulasi tapi kok miris ya. Hahahaha.. Dinikmati sajalah. Toh, ini tujuan terakhir dari trip dan setidaknya kami bisa melipir sejenak melihat rumah kelahiran tokoh besar Buya Hamka.

Saatnya buat kembali ke Bukittinggi, berpisah dengan Bu Nelly dan bersiap packing. Besok pagi kami akan dijemput travel Tranex direct menuju bandara kembali ke Jakarta.

Categories: 2017, Travelling | Tags: , , , , , , , , , , , | Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.