Monthly Archives: July 2014

Panorama Flores Dari Puncak Gili Laba

Lanskap dari puncak Gili Laba

Sejatinya pada pagi hari ketiga, kami tiba di Gili Laba. Tapi karena kerusakan mesin menyebabkan jadwal harus molor. Jelang tengah hari, kami baru tiba di Gili Laba. Itu pun baru kami ketahui, saat sarapan dan beberapa diskusi kalau semalam benar adanya kapal kami berhenti dan diperbaiki. 

Alhasil, kami hanya bisa bercengkrama tanpa banyak aktifitas lain. Mendekati Gili Laba, saya pribadi mulai deg-deg-an. Di sini memang acara hiking bakal dimulai. Hiking menuju puncak untuk melihat panorama tanah Flores. Floressss boooo… Floresss… OMG, gak kebayang kalau saya bisa menjajakan kaki di tanah Flores.

Begitu kapal merapat kami pun mulai menjelajah. Emang nih ya, Indonesia begitu indahnya. Air laut begitu jernihnya sampai-sampai kek dipanggil untuk segera terjun. Tapi kali ini tujuannya adalah mendaki, persiapan mental, air minum dan tekad jadi senjata utama.

Di awal pendakian mungkin enggak terlalu sulit, semua masih bisa terjajaki dengan baik. Tapi begitu sudah masuk ke pertengahan jalan, plus panas nan terik bikin hati langsung ciut. “Wahhh… Slowly but sure deh, cari pijakan rata agar tidak mengganggu yang lain lewat,” begitu pikir saya.

Beberapa teman masih tinggal di bawah, sementara para rekan-rekan asing justru sudah lebih dulu dan terbilang cepat untuk naik ke atas. Hosss… Hosss… Hosss… Atur nafas, ingat nafas. Fhuiiiii… Pun, di tempat saya berdiri pesona daratan Flores sudah terlihat cantik dan ciamik. God the Almighty 🙂 

Spot foto di puncak Gili Laba

Tapi, rasanya sayang bila saya tidak bisa mencapai puncak. Common, sudah ada di tanah Flores, harus naik… harus naik. Bobby dan Ulfa, secara perlahan terus naik. Saya pun tak ingin patah semanga, begitu juga Dina yang tertinggal dan berupaya mengejar. Perlahan dan pasti, harus naik kendati tanjakan begitu terjal. “Semangaattttt……”

Niatan itu berbuah sukses, nafas sudah habis tapi sangat layak begitu tiba di puncak Gili Laba. “Yaaaa ampunnn… Tak terbilang indahnya daratan Flores. Gak bisa berkata-kata, hanya mampu merekam momen indah itu melihat dari kejauhan laut yang bergradasi. Bukit-bukit yang terbentang. Betapa ‘kecil’ kita manusia,” ucap saya dalam hati dan bersyukur karena bisa melihat keindahan alam itu.

Memang, waktu kami tidak banyak untuk berada di puncak Gili Laba. Pasalnya saat saya mulai mencapai puncak, para rekan asing malah justru mulai turun. Tak apalah. Jeprat-jepret narsis dan sebagainya sudah kami lakukan, akhirnya kami pun turun. Asal tahu saja, kami memang sulit untuk mendaki puncak, tapi kami juga yang lebih jago buat urusan turun gunung. (jiaaaaaahhhh… *sombong dikit ahhh…) Buktinya, kami asik-asik aja melenggang turun, sementara ada beberapa rekan asing yang mengalami kesulitan. Entah karena salah alas kaki, atau memang terjalnya tanjakan yang lumayan curam.

Lepas kunjungan ke Gili Laba, kami pun melanjutkan perjalanan ke Pink beach, yang konon jadi tempat paling cantik untuk snorkel. Sesampainya disitu, saya sudah mulai turun ‘laut’ alias ikutan berenang dan melihat pesona bawah laut. Modal utama saya adalah pelampung (gak perlu bungkus badan, cukup berpegangan pelampung sharing sama Lilita 😀) dan kacamata renang. Memang tersedia alat snorkel, tapi saya tak nyaman alhasil hanya bisa pakai kacamata renang saja. Itu pun cukup, ambil nafas liat bawah… abis nafas liat bawah… Hahaha… Repot sih, tapi gak apa sudah cukup puas kok. Kamera underwater lomo saya pun saya gunakan buat mengambil spot-spot yang cantik (eh… lupa belum dicuci filmnya 😀).

Dinamakan Pink Beach, karena banyak terumbu karang berwarna merah yang pecah dan menghiasi pantai. Tapi kalau saya pribadi sih bilang, pantainya tidak semerah aslinya. Sayangnya lagi, saya justru melihat banyak terumbu karang yang rusak akibat jangkar kapal yang sepertinya terlalu merapat pada tepi pantai dan menghancurkan karang 😦

Harus ekstra hati-hati walau Komodo tidak terlihat agresif

Tak apa. Waktu sudah menunjukkan pukul 15.00, tur dilanjutkan ke Pulau Komodo (Loh Liang). Ini merupakan puncak program alias yang dijagokan dari tur sail trip. Sayang, waktu yang molor justru bikin suatu insiden. Ya, kami tiba di Pulau Komodo pukul 17.00 dan itu bukanlah waktu yang pas untuk melakukan treking. Pun, pihak terkait menyarankan untuk kembali esok atau bila ingin melakukan treking sore itu maka harus bayar dua kali.

Walah, cek cok mulut pun terjadi. Lumayan keras sih, antara rekan asing, si pemandu dan pihak berwenang Pulau Komodo. Buat saya pribadi, waktu sudah tak memungkinkan, pun Komodo sudah tak mungkin bisa dilihat. Jadi begitu ditanya, saya sih lebih pilih besok pagi saja untuk kembali.

Ternyata ada dua rekan Russia (tak pernah ku tahu siapa pula nama mereka), yang bersikeras untuk melihat Komodo dan memutuskan keluar dari kapal dan menginap di guest house. Hadeeuhhhh…. Karena seorang berkeputusan, jadwal buat ke Pulau Kalong untuk melihat kelelawar alias kalong keluar dari goa untuk mencari makan pun gagal. Tak ada waktu untuk ke Kalong, dan kami harus menginap di atas kapal di lepas pantai Pulau Komodo.

Setidaknya, peserta yang lain tidak berkeberatan asal bisa melihat Komodo esok pagi. Padahal sudah diinfokan juga, Komodo di Pulau Rinca jauh lebih banyak dan pemandangan di pulau itu sendiri lebih menarik. Tapi sudahlah ikuti suara terbanyak aja.

Yang menarik, kami harus menginap di atas kapal menjauh dari pantai agar tidak terhempas ke karang. Malam itu memang menjadi malam terakhir kami bareng-bareng (karena besok malam ada opsi untuk tinggal di kapal atau cari penginapan setiba di Labuan Bajo), bergembira menikmati bintang-bintang serta bulan purnama. Plus ada acara mancing segala, dan itu dilakukan oleh Ruud, rekan asal Belanda.

Seru juga bergembira ramai-ramai, melihat bintang-bintang, bercengkrama meski kami masih belum mengenal lebih dalam tapi jelas sangat menyenangkan. Oh iya, dari awal perjalanan rekan-rekan asing itu banyak yang memesan bir untuk diperjalanan. Nah, saya sendiri gak terlalu suka sih hang-out lebih lama dengan aroma bir dan weeds. Iya weeds, tak perlu saya sebut siapa yang pakai, yang jelas ada yang melintingnya.

Meski tinggal di kapal, maskeran jalan terus

Rasa tak nyaman membuat saya dan ulfa memutuskan untuk meninggalkan dek kapal menuju tempat tidur. Di situ setidaknya kami bercengkrama lebih dulu dengan Lili, Dina, Sandra dan Jo (pasangan muda dari Jerman yang lagi studi di Bali). Acara maskeran di atas kapal juga dilakukan. Hahaha.. seru sih, secara ini masih di tengah perairan lho (eh trus bangkuang bahasa Inggrisnya apa sih? Sibuk mencari sampai bingung sendiri buat masker bangkuang yang dibawa Lili).

Selang beberapa waktu, kami pun memutuskan untuk tidur. Siapa duga, di tengah malam ada lagi insiden yang (menurut saya) memalukan. Pemandu kami mabuk, dan berceloteh banyak hal. Ciut? Enggak juga sih, karena kebetulan ada Bobby dan Mail di bawah yang bisa membantu untuk menenangkannya. Ada satu rekan asing yang jadi sasaran Adi. Ocehan kotor dan sebagainya bikin yang denger, keki dan risih. Karena menurut saya, satu orang berulah impact-nya jadi ke semua orang (Pun jangan bawa-bawa nama Indonesia lah 😦).

Bertemu si Komodo
Insiden semalam, rupanya jadi bahan perbincangan kami semua. In the end, sudah bisa diprediksi suasana jadi tidak menyenangkan. Terutama pemandu kami yang akhirnya malu sendiri dan enggan untuk berinteraksi. Well, sudahlah. Saatnya untuk bersua dengan Komodo.

Tepat pukul 07.00, kami kembali ke Pos Penjaga. Di Pulau Komodo ini ada tiga treking yang tersedia. Pendek, menengah, dan Jauh. Kelompok kali dibagi menjadi dua, menengah dan jauh. Saya sendiri memilih menengah karena di Pulau Rinca kami harus berjalan dan rute yang ditempuh lumayan jauh. Di sepanjang jalan, kami tidak menemukan Komodo. Tapi beruntung, ada Komodo yang datang dari arah pantai menuju hutan. Kami pun melipir sejenak untuk memberi jalan si Naga. Dan sepertinya dia tahu jadi sorotan para tamu. Si Komodo berhenti sejenak, kemudian melanjutkan perjalanannya.

Nyengir sih, tapi khawatir itu sama dua komodo di belakang

Dari informasi yang saya dapat, populasi komodo di pulau ini mencapai 2.482 ekor. Tapi ada beberapa komodo yang tinggal tak jauh dari pos penjaga. Usia kelompok Komodo ini tergolong tua, dan cukup ramah dengan penduduk setempat. Mungkin komodo yang kami temui tadi termasuk salah satu di dalamnya.

Singkat cerita, kami kembali ke kapal untuk menuju Pulau Rinca (Loh Buaya). Tak sabar rasanya untuk melihat Komodo yang ada di pulau ini. Untuk mencapai pos penjaga, dari dermaga kami harus berjalan sekitar 300 meter, melewati portal berlambang komodo. Sama seperti Pulau Komodo, treking dibagi menjadi tiga. Dan kami semua akan treking dengan rute menengah.

Di Pulau Rinca, ada 15 rangers yang selalu bertugas menemani pengunjung yang datang. Biasanya, dua pekan sekali mereka berganti tugas dengan ranger lain. Bila ingin menginap, tersedia guest house. Jangan khawatir, semua rumah di sini dibuat rumah panggung. Berbekal tongkat kayu berbentuk V pada bagian ujung, para ranger akan siap membantu.

Perlu diingat, untuk para wanita yang kebetulan lagi berhalangan, informasikan hal itu pada ranger. Mengapa? Karena komodo bisa mencium bau dari dari jarak kiloan meter. Daripada terjadi insiden yang tidak diinginkan, akan lebih baik bila diinfokan lebih dulu.

Foto group di teriknya matahari dan sepoinya angin di atas Pulau Rinca

Okay. Jelajah rute menengah ini lumayan jauh. Kami harus melewati hutan, savana dan hutan. Begitu rute-nya. Sang pemandu Emanuel, beberapa kali berhenti untuk memberi penjelasan kepada kami mengenai tiga komodo yang asik ‘nongkrong’ di bawah rumah. Tetap waspada, kami melewati komodo itu dan terus melanjutkan perjalanan. Memasuki hutan, kami diperlihatkan lokasi di mana Komodo bertelur dan meninggalkan telurnya. Bila sang induk kembali ke sarang, itu bukan untuk melihat anak-nya melainkan menyantapnya. Yup, komodo ini termasuk predator tertinggi di pulau. Enggak heran, baby komodo akan bersembunyi di atas pohon sampai usia 2-3 tahun, sebelum akhirnya ‘turun pohon’ dan menjelajah.

Yang menarik di Pulau Rinca ini adalah pemandangan saat melintas padang savana. Matahari boleh saja bersinar terik, tapi semilir angin membuat kami tak patah semangat untuk terus berjalan. Keindahan alam dari ketinggian juga bikin kami puas dan tak merasa lelah. Ini dibuktikan begitu sampai di puncak, kami berfoto grup. Para ranger pun jadi fotografer dadakan kami semua 😀 Makin seru, ada satu ranger yang selalu bersiul indah mendendangkan lagu. Hahaha… seru!!!

Dari ranger itu pula saya mendapat cerita bahwa sepekan sebelum kedatangan kami, ada seorang ranger yang diserang Komodo. Entah apa yang terjadi saat itu, ranger berhasil diselamatkan dan dibawa ke rumah sakit Sanglah, di Bali. Kabar terakhir yang diterima, kaki sang ranger harus diamputasi.

Setidaknya, sekitar dua jam kami menjelajah Pulau Rinca. Dana kalau boleh saya bandingkan sih, Pulau Rinca jauh lebih mengasyikkan ketimbang Pulau Komodo. Kenapa? Secara alam, Pulau Rinca memiliki panorama yang luar biasa indah. Pun banyak binatang liar yang bisa ditemui. Puas, rasanya bisa melihat salah satu binatang purba yang tersisa dan itu ada di Indonesia 🙂

Baiklah, ayooo kembali ke kapal. Destinasi terakhir kami adalah Pulau Kelor, tempat terakhir kami akan bersnorkle. Nah, menuju perjalanan ke Pulau Kelor, kami menikmati makan siang. Di sini semua peserta mulai melebur. Duduk bareng sambil menikmati makan siang bersama untuk yang terakhir kalinya. Yang bikin seru, di saat kami sedang menyantap, Pak Kapten memberi tahu ada sekelompok lumba-lumba yang tengah lewat berlawanan arah dengan kapal kami.

Our last lunch on board with a surprise, when a bunch of dolphins shown up

Wowww… Spontan kami pun bangkit dan melihat lumba-lumba itu lewat. Sayang, nggak sempat untuk mengambil foto. Tapi senang rasanya melihat lumba-lumba itu lewat langsung di depan mata. Yang bikin asik lagi, kru-kru di belakang lagi makan cumi yang sukses dipancing. Alamat dong, saya dan tim Jakarta langsung melenggang ke belakang. Mas Kris memang baik hati menginformasikan, tapi Anja melihat kami semua melenggang ke dapur. Ia pun menyusul dan yeahhhh… Sebagian langsung gembira dengan penganan cumi plus hitam-hitam di bibir dan gigi.

Hahaha… Kenapa ya, selalu saja di hari terakhir perjalanan dan pertemanan yang baru dimulai harus segera berakhir. Tapi tak apa, masih ada satu tempat yang akan kami eksplor. Seru? Pastinya. Pasalnya di Pulau Kelor ini, ada ikan-ikan kecil yang agresif alias penasaran dengan pendatang dan langsung menggigit. Iya, gigit. Lili dan Dina digigit. Hihihi… lucu sih, tapi menggemaskan.

Perjalanan harus berakhir di Labuan Bajo. Memasuki pelabuhan, banyak kapal-kapal Pinisi yang bagus-bagus. Ahhh… Sayang, perjalanan kami harus berakhir. Cipika-cipiki terima kasih harus terucap. Dan di sini, Adi sang Pemandu akhirnya angkat suara, mengatakan bahwa perjalanan berakhir. Kami boleh bermalam di kapal atau mencari penginapan di sekitar pelabuhan (seriously? Enggak ada kata maaf Di? arghhh… Gak gentlemen banget dah). Tapi tak apalah, toh kami semua selamat tiba di Labuan Bajo. Bye new friends… I see you when I see you.

Traveller Jakarta dengan kru kapal, Pak Abdullah, Mas Kris, Pak Anto dan Adi si guide. Thank you Kencana Adventure!

Saya dan Ulfa, serta Dina dan Lilita jelas memutuskan untuk cari penginapan. Ini perlu agar kami bisa proper mandi, keramas dan bebersih badan (soalnya selama di kapal, benar-benar cuma mandi ‘bebek’ dan keramas darurat). Somehow somewhere, peserta terpecah jadi tiga kelompok. Hihihihi.. Kami tim Jakarta, kemudian ada tim Belanda and the gank, serta ada tim dari Jerman etc. Anja sendiri memutuskan untuk menginap di kapal, dan hanya perlu cari tahu kapal Pelni untuk lanjut ke Makassar.

Cari dan mencari, akhirnya dipilihlah Hotel Orange untuk Rp 250.000/malam. Itu pun pakai acara tawar menawar dan cukup layak dengan kondisi kamar dan kamar mandinya. Memang, untuk Lili, Dina, Thomas, Bobby dan Mail hanya sementara waktu, karena pagi hari harus segera ke bandara dan kembali ke Jakarta. Saya dan Ulfa, boleh sedikit santai karena jam 9.00 harus mengejar kapal cepat menuju Sape.

Namun petang itu belum berakhir. Pasangan Jerman, Sandra dan Jo belum mendapat penginapan karena hotel yang dituju fully booked. Beruntung masih ada satu kamar tersedia, dan mereka jadi gabung sama kita. Meski belum mandi, tapi kami mau hunting makan malam dulu yakni seafood yang tak jauh dari tempat kami menginap. LOL, rupanya tempat makan seafood ini sangat terkenal, pun termasuk murah meriah.

Memesan ikan kerapu Rp 35.000/ekor serta cumi jadi pilihan untuk bersantap malam. Sederhana, tapi bikin perut kenyang dan jadi momen menyenangkan buat saya dan teman-teman di malam terakhir di Labuan Bajo. Setidaknya itu yang kami rasa. Sandra dan Jo akan melanjutkan perjalanan ke Ende, sementara buat saya dan Ulfa perjalanan masih jauh yakni menuju Lombok, melewati Sumbawa.

Overall, Sail Trip ini layak coba buat kalian yang senang berpetualang. Ada plus minus-nya, tapi benar-benar sangat berarti. Toh, inilah salah satu perjalanan saya menuju Indonesia bagian Timur. Pertemanan baru serta momen-momen yang tak terlupakan akan selalu jadi pengalaman menarik.

Categories: 2014, Travelling | Tags: , , , , , , , , , , , , | 8 Comments

Create a free website or blog at WordPress.com.