Monthly Archives: May 2013

Berburu Sunrise dari Negeri di Atas Awan Dieng

Berburu matahari dari atas Dieng

Rasa lelah langsung terbayarkan begitu mencapai puncak dan melihat matahari perlahan muncul dari balik awan di samping Gunung Sindoro. God Almighty.

 

Sabtu, 12 Mei, 03.30 wib
Sebelumnya sudah diinformasikan bahwa jam 04.00, Mas Pur akan datang menjemput. Tidur ayam yang saya lakukan pun sepertinya berlalu cepat karena alarm yang saya setting pukul 03.30 berbunyi. “Fhuiiii… Cepet bener,” pikirku. Well, itu mungkin karena rasa nyaman lantaran ada dibalik sleeping bag harus segera berakhir. “Mbak, udah bangun?” kata Ryo saat masuk kamar dan kembali naik ke atas kasur dan menutup diri. “Udah dunk, Yudi dah bangun?” tanya saya balik.

Obrolan singkat itu ternyata sangat singkat karena Mas Pur sudah datang dan menunggu di bawah. Persiapan ekspres dan bekal untuk perjalanan pun kami bawa. Yudi bahkan membawa sleeping bag-nya (cowok satu ini emang mengaku tidak tahan dingin). Udara di luar memang sangat dingin, dan gak mau kedinginan sebelum mendaki akhirnya saya, Ryo dan Eng memaksa duduk di dalam mobil, sementara Yudi rela di belakang sambil kembali tertidur dibalik sleeping bag on a bumby road (salut lho buat Yudi).

Untuk sampai ke puncak Sikunir, jarak tempuhnya mencapai 1,5 jam (ini termasuk berkendara dan pendakian). Di bulan Juli-Agustus, kawasan Dieng mencapai titik beku di mana embun-embun berubah menjadi es. Selama sebulan itu petani biasanya was-was, karena es bisa mengakibatkan gagal panen. Titik beku ini terjadi karena Desa Sembungan, sebagai lokasi pendakian, merupakan desa tertinggi di Pulau Jawa. Wow! Saking dinginnya, solar/bensin pada mobil-mobil yang parkir di kaki bukit pun bisa membeku.

Saat kami tiba, sekelompok orang sudah bersiap diri untuk berangkat. Satu hal yang kami lupakan, SENTER!!! Oalahhh… Gelap begini kok ya bisa lupa. Pun, sebenarnya kami bisa menggunakan handphone, tapi rupanya penduduk setempat tahu pasti bagaimana melihat peluang. Satu buah senter disewakan dengan harga Rp5.000 alhasil langsung kami sambut.

Saya pribadi sudah lama tidak mendaki, terakhir adalah ke Kawah Ijen dan itu saya lakukan bulan Agustus, tahun lalu. Kondisi fisik yang kurang olahraga, kelebihan berat badan (oh no.. definitely need a routine workout), serta pendakian yang menurut saya sebenarnya tidak terlalu sulit, tapi mengharuskan saya untuk beberapa kali berhenti. “Can we stop? Catching my breath for a while,” pinta saya. Du du du… (maaf bila merepotkan ya teman). Sepanjang perjalanan, kami semua memang banyak bicara, hanya Eng yang berada di belakang berjalan tanpa banyak bicara. Alasan Eng saat itu adalah masih mengantuk, dan berjalan santai dengan modal senter dari handphone (itu ponsel siapa ya?).

Pendopo tempat memandang luasnya kawasan Dieng

Sampai pada pendakian yang curam, lagi-lagi harus berhenti sejenak. Eng juga semakin diam dengan senternya. Hingga tibalah juga kami di lokasi pemandangan pertama. Tapi bukan kami kiranya kalau belum sampai ke puncak tertinggi. “Huff… huff… huff… Tarik nafas #SugestiDiriUntukIngatBernafas.” Memasuki tanjakan menuju puncak itu, saya pun lebih banyak diam. Kali ini giliran Yudi yang khawatir akan Eng, yang jauh lebih diam. Hahaha… Andai saja kami tahu lebih awal penyebabnya.

Well, perjuangan kami (terutama aye) terbayarkan. Puncak Sikunir sudah menanti. Sebagian orang sudah tiba dan mengambil pos masing-masing, lengkap dengan tripot, untuk menangkap momen. While me? Cukup kamera pocket dan Samsung Wonder yang menemani saya mengambil momen itu (sok eksis karena bisa langsung upload. Hehehe…). Perlahan dan pasti, sang mentari muncul. Yup, God Almight. Awan-awan menyelimuti puncak gunung sementara sang matahari mengintip dan timbul dari balik awan. Wow, sangat menakjubkan! Harus saya akui melihat keseluruhan proses itu membuat diri ingin selalu introspeksi. Setiap hari lembaran baru muncul dan kami bersyukur bahwa pagi ini tidak hujan.

Kalau orang-orang sibuk foto, tak terkecuali Ryo yang sudah enggak bisa diganggu gugat (you really embrace and enjoyed it ya, Yo). Dengan tripotnya, jepret sana sini plus pindah beberapa spot, segan juga untuk mengganggu. Lain lagi cerita Eng. Karena enggak bawa kamera, Eng bisa banget basa-basi buat minta difoto. “Keknya bagus foto dari sini Yud,” kata Eng pada Yudi. Seakan tahu maksudnya Eng, “Elo mau difoto di situ? Bilang aja langsung Eng.” Hahaha… No offence dude, satu lagi celaan datang (sorry ya dude, gak maksud sengaja kok. Cuma ada aja yang jadi bahan).

Begitu indahnya panorama Puncak Sikunir, membuat kami jadi the last group standing. Tahu apa yang kami lakukan? Foto-foto narsis dengan koreografi yang amburadul jadi momen paling menyenangkan di puncak itu. Tripot jadi tools yang sangat berguna, termasuk multishots. Kalau diingat-ingat, keknya GOKILLL beneran. Apalagi ada beberapa scene (terutama Eng… Again sorry dude) bikin ngakak. Sampai Mas Pur pun jadi ikut tertawa. Sungguh jadi momen berharga. Berada di puncak, menikmati sunrise, tawa canda lepas bersama teman, tanpa beban, kombinasi yang sangat sempurna. Keindahan itu semakin terbalut dengan yang namanya FRIENDSHIPS (thanks alot guys.. you are rock!).

Matahari semakin tinggi, garis horizon dengan indahnya membentang. Saya baru tahu dari bapak penjual bahwa ‘horizon look’ itu merupakan petanda bahwa musim kemarau akan datang. Kami pun melanjutkan rute ke tepi yang lain. Another beautiful view of Telaga Cebong from above. Eng enggan untuk mendekati lokasi tempat kami berdiri. Jadi dengan manis, hanya melihat dari jauh. Untuk beberapa waktu, kami sibuk snap shot foto, sampai akhirnya kabut mulai turun dan Mas Pur meminta agar kami untuk meninggalkan TKP.

Kabut yang lumayan pekat menyertai perjalanan kami turun bukit, Eng yang sudah lebih dulu jalan bisa kami susul. Setibanya di tempat parkiran, Mas Pur menyempatkan diri untuk tidur sementara kami justru melihat Telaga Cebong lebih dekat. Wow! Memang terlihat biasa saja, tapi bersih lho. Aksi foto makro dengan teknik unique diperagakan kembali oleh Ryo (you really full of surprise dude, salah kiranya kami minta foto makro 😀).

Lanskap dari atas pendopo ke arah Danau Cebong

Waktu yang mepet membuat kami harus meninggalkan Sikunir, dengan rasa deg-degan karena mobil sempat sulit di starter. Wah, bener deh solar itu sempat mendingin. Rute berikutnya adalah Kawah Sikidang. Kami memutuskan untuk langsung ke TKP agar tidak bolak balik ke hotel. Jarak tempuhnya tidak terlalu lama dan kami langsung naik ke kawah. Asap yang terangkat, menunjukkan betapa dasyat panas yang dikeluarkan. Tapi kami tidak langsung menuju kawah. Seekor kuda hitam nan cantik bernama Leo telah memikat Ryo (uhuyyyy…) dan memaksa kami berhenti sejenak (30 menit itu sejenak bukan?). Di sini, jasa kuda serta properti kostum cukup bayar Rp 5.000 saja kecuali jika menggunakan kamera milik Mas dan Mbak penjaja. Biaya yang dikenakan Rp 10.000.

Apa yang terjadi, bukan kawah yang kami lihat. Tapi aksi foto antara Ryo dan Leo, serta foto adegan dengan pemeran Scream. Hahaha… Entah apa ini bisa didapat di trip lain. Tapi ini jadi momen tersendiri. Again, Eng jadi sasaran bully. Hehehe… Sepertinya durasi kami di sini lebih lama foto-foto bareng Leo dan kostum, ketimbang melihat dari dekat Kawah Sikidang yang paling tidak hanya 5 menit. Puas! Jadi satu kata yang menggambarkan semua itu.

Lepas dari Kawah Sikidang, kami pun mampir ke warung setempat. Tempe mendoan, kentang goreng (yang tidak seenak di DPT), kopi dan air putih jadi acara sarapan kecil. Eng niat beli oleh-oleh berupa kentang. Wah! Saya saja enggan bawa. Berat boooo…

Kawah Sikidang yang menawarkan spot foto

Berat rasanya harus meninggalkan TKP karena kami harus kembali ke hotel dan check-out. Kami akan kembali ke Jakarta dengan bis pukul 16.00. Acara bersih-bersih, sweeping serta makan siang jadi acara kami terakhir di desa ini. Waktu menunjukkan pukul 13.00 saat kami pergi. Berikutnya adalah cari oleh-oleh dan menikmati Mie Ongklok. Yup, waktu yang singkat tapi apa yang kami cari, terpenuhi. Rintik hujan mengantar kami ke terminal, dan perpisahan dengan Mas Pur serta Wonosobo tak terhindarkan.

Overall kami sangat terberkati karena diberi cuaca yang bagus saat berada di Wonosobo. Siapa duga bahwa hujan deras (benar-benar deras dan berangin) datang saat kami hendak pulang. Berat rasanya untuk meninggalkan kota ini. Permintaan satu hari tambahan yang Ryo ajukan sebelumnya pun, tidak terpenuhi karena saya harus bekerja di Senin pagi (next time kita kembali lagi ya, Yo). Tapi, apa yang saya dapat di sini bukan hanya sekedar momen trip Dieng, tapi juga pertemanan, seakan-akan saya sudah mengenal tiga rekan perjalanan saya ini.

Sayangnya, karena satu dan lain hal bis yang kami tumpangi punya tempat duduk 2-3. Lebih sempit dan supirnya bikin perjalanan pulang bak roller coaster. Bener deh, sempat roda kiri belakang memaksa naik (pembatas jalan mungkin) sampai anjlok saat belok kanan. Ini sempat bikin sport jantung. Biar nyaman dan gak ganggu, Antimo jadi penolong saya (walau tidak nyenyak full—antimo effect). Ryo sendiri asyik berfacebook ria, sampai tiba jam tertentu untuk rehat sejenak.

Saat tiba di pool peristirahatan, kami harus isi perut. Pop mie jadi pilihan saya karena menghangatkan perut, begitu pula dengan Yudi. Hanya Ryo saja yang menyempatkan makan berat. Sementara Eng, nggak kelihatan batang hidungnya hingga kontak suara dilakukan. Aihhh.. Apa yang terjadi saudara-saudara, kami nyaris ditinggal bis yang sudah bergerak menuju pintu keluar. Dari satu kebetulan, akhirnya baru terungkap kalau Eng itu minus 2 dan 4 (Oalaaahhhh Eng, andai bilang dari awal, pasti akan sama-sama dijaga. Maafkan teman-teman barumu ini ya…). Now you guys know what happened, kan?

Aksi roller coaster ternyata tidak berhenti di situ, akibatnya aksi tidur pun terganggu. “D**n, kenapa gak minta antimo lagi tadi,” pikirku. Hingga pagi hari, tidur tak nyenyak, bikin mata melek. Satu momen ada yang menarik antara Eng dan Yudi, sayang Samsung ini mati daya jadi tak bisa mengambilnya (hehehe… untung gak keambil guys). Rasa berat dalam hati timbul, karena kebersamaan ini harus segera berakhir. Huaaaa…. Beneran deh gak ingin pulang :((

Anyway, waktu jualah yang harus memisahkan. Pukul 06.00 kami tiba kembali ke terminal Lebak Bulus. Acara bubaran kami lanjutkan dengan minum kopi di warung terdekat. “Fhuii… Berat, enggan untuk pisah,” begitu pikirku. Tapi seperti pepatah, “Ada pertemuan tentu ada perpisahan.” Walau harus mengakhirinya dengan sarapan besar di KFC, Carrefour, plus curcol soal kehiduan pribadi, saya (kami) puas dengan trip singkat ke Dieng ini.

Thanks berat Yudi (atas tripnya), Ryo (yang udah jadi teman nan menyenangkan selama perjalanan), Eng (yang rela dibully, no heart feeling ya broer. Goodluck buat job seekingnya). Maaf jika saya merepotkan atau mungkin ada salah-salah. Ke depan, semoga silaturahmi ini tidak terputus dan bisa dilanjutkan ke trip berikutnya (atau aktifitas lain, karaoke or badminton?). Love you and God Bless us all…

—End of Dieng Trip–

Categories: 2013, Travelling | Tags: , , , , , , , , , | Leave a comment

Blog at WordPress.com.