Monthly Archives: May 2013

Telaga Warna, Sisi Lain dari Pesona Dieng

Pemandangan saat memasuki kawasan wisata Dieng

Siapa bilang jalan-jalan itu harus melulu keluar negeri? Negeriku ini terlalu indah untuk diabaikan. Baik alam pegunungan maupun laut, tak terkalahkan dari negara-negara lain. Tinggal dari sudut mana saja melihatnya 🙂

 

Tawaran untuk ikut wisata ke Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah, datang beberapa hari sebelum keberangkatan saya ke HCMC. Menarik, tapi ekstra pikir panjang. Selain budget, tersiar kabar kalau kondisi Dieng lagi naik status. Pendaftaran pun berlalu hingga tiga hari sebelum keberangkatan, teman yang mengajak menghubungi saya.

“Kak, jadi ikut ke Dieng?” Begitu pesan yang muncul di layar ponsel. Rasa ingin melihat Dieng dari dekat, keselamatan, ijin kantor, dan sebagainya langsung melintas cepat dalam pikiran sekaligus bikin dilema. “Berangkat nggak ya?”

Dengan modal nekat plus keinginan yang kuat, akhirnya saya putuskan untuk ikut. Harap-harap cemas karena cuti dadakan sempat bikin ciut, soalnya tepat sebulan lalu saya sudah hutang 3 hari cuti, sekarang dadakan cuti satu hari. Waduh, benar-benar deh. Tapi sepertinya semua dilancarkan, ekspres cuti kantor didapat, plus surat ke HRD pada. Ijin keluarga, checked. Terakhir, tugas-tugas kantor. Hm… Runut-runut dan runut pekerjaan selesai tanpa ada pendingan. Nyaman sudah buat berangkat besok hari.

The Big Day, Kamis (9/5), 16.30 Wib
Seperti yang dijanjikan, titik temu bertempat di terminal Lebak Bulus. Dan coba tebak, dua peserta gagal ikut. Jadilah kami hanya bertiga as the guests, Eng, Ryo dan saya. Tidak lupa Yudi tentunya sebagai pemandu. Hahaha… It’s definitely become a private tour (I don’t mind though). Dengan bis yang siap mengantar kami ke Wonosobo, aksi perkenalan seadanya, siapa duga jadi momen menyenangkan. Obrolan ngalor-ngidul dari kerjaan, Dieng itu sendiri, etc membuat waktu berlalu cepat.

Pukul 18.00, bis melaju meninggalkan terminal (molor banget dari jadwal yang seharusnya jam 17.00). Memasuki Pamanukan, gerimis datang dan macet menghadang. Lelah ngobrol kantuk yang menyerang terputus dengan celetukan Ryo, “Laper nih. Macet lagi. Sok atuh dimakan cokelatnya, Bang.” Tapi cokelat gak nendang ya kawan Hehehe… Wajar sih, seharusnya jatah makan malam itu pukul 22.00. Tapi karena tersendat macet, alias buka tutup yang dilakukan pak polisi, alhasil jadwal jadi berantakan. “Tuh ada pecel lele. Tahu macet lama gini, harusnya bisa turun buat makan,” kata Ryo lagi. Hahaha… (andaikan bisa Yo). Lapar memang bikin susah tidur. Gerimis pun berganti menjadi hujan deras dan wuzzzz… Jalan justru langsung lancar.

Kantuk yang datang lagi-lagi harus ketunda, karena bis tiba di pool peristirahatan persis jam 23.30. “Keknya indomie enak nih,” kata saya. “Atau soto ayam, yang anget-angetlah,” seru Yudi seraya masuk ke tempat makan. Jrengggg… SOTO AYAM! YIPIIEEE… Lumayanlah, cuaca lepas hujan, telat makan, menu hangat jadi pilihan yang tepat. Seporsi soto dan nasi plus teh hangat jadi pilihan saya. Eh eh… Eh… Kok? Kenapa si Ryo kalap ya? Porsinya banyak. Hahaha… Dikira menu prasmanan itu murmer, salah gan, itu dihitung porsian euy, jadi superduper mahal deh. Badan boleh kecil, perut lapar sikat saja dah (peace ^_^). Pemberhentian bis memang tidak lama, sekitar 30menit kami harus kembali naik dan melanjutkan perjalanan. Perut kenyang, hati damai menanti Dieng, kantuk kembali menyerang sambil terdengar sayup-sayup nyanyian dari bangku sebelahku (Ryoooo.. Diem! #DalamHati).

Aksi foto jalan terus dari atas mobil bak

Jumat, 10 Mei, 06.00 Wib
Tepat pukul 06.00, kami turun di Plaza Wonosobo, meeting point yang telah dijanjikan. Udara segar, matahari dengan cerahnya mengintip serta aktifitas masyarakat setempat yang berolahraga semakin gak sabar untuk sampai ke Dieng. Mas Pur pun datang dan dengan yakinnya Ryo menyambut salam. Lho… Piye toh iki? Hahaha… Mas Pur sendiri sangat yakin bahwa ini rombongan Yudi. Oh ya, karena cuma berempat jadi angkutan yanh kami sepakati adalah Mobil Bak. Saya enggak keberatan, justru lebih asyik dan bebas (meski impact-nya baru berasa belakangan. Ireng dan kebakar :)) ..) Cuek dunk, bukanbackpacker namanya kalo manja. Hehehe… Okeh, karena di area plaza itu Pak Polisi sudah berjaga akhirnya kami diarahkan ke satu jalan sekaligus mobil dicuci dulu. Walau masih pagi, sinar mataharinya nuampollll…

Perjalanan menuju penginapan kurang lebih satu jam, tapi sepanjang jalan landscape yang ciamik, udara yang segar bikin gatel buat foto-foto. Enaknya jumlah kepala dikit, enggak repot kalo mo request sesuatu (#SelfOpinion). Setelah melewati daerah Tieng, Mas Pur menghentikan mobil agar kami bisa foto-foto. Kota Wonosobo sangat terkenal dengan kentangnya. Gak heran kalau saat kami turun, petani tua menunggui dua karung kentang yang siap diangkut. View yang luar biasa, ditambah sejuknya udara membuat paru-paru ingin menghirup semua oksigen yang ada (lebay :D). Entah berapa banyak foto yang diambil Ryo di area ini. Eng sendiri adem ayem tanpa banyak bicara (hahaha… Tunggu aja).

Puas dengan scenery awal, kami tiba di Nusa Indah Hotel. Lokasinya enggak berapa jauh dari tempat Ibu Jono yang populer itu. Tapi lumayan cantik dan modern. Karena kami tiba terlalu pagi, akhirnya tas kami drop semua. Sementara peralatan tempur kami bawa menuju Telaga Warna. Berkendara sekitar lima menit, kami sarapan dulu di salah satu warung.Nah, asal tahu aja Wonosobo juga punya buah khas yakni pepaya mini atau disebut Carica. Pun buah ini lebih banyak dibuat manisan. Yang kedua, cabai gendot atau kerennya Jalapeno khas Dieng (sebutan gw aja sih secara mirip bener kok). Sarapan indomie rebus plus icip-icip sambal tempe cukup ganjal perut. Tapi emang pria ya, indomie harus ditambah nasi plus lauk lain. Du du du…

Telaga warna yang super tenang

Telaga Warna menanti, dengan tiket yang sangat terjangkau, rasa penasaran melihat danau warna ini semakin dalam. Sewaktu kami tiba, belum banyak tamu yang berkunjung, jadi masih asyik-asyik aja ambil gambar ini itu. Dua batang pohon mati yang menjorok ke telaga jadi spot apik buat foto. Bahkan Eng ikut melewati pohon meski ngaku kalau balancing dirinya kurang oke 😀 alih-alih akhirnya menerobok air. Pengunjung telaga mulai berdatangan, kami pun bergerak untuk melihat komplek ini. Sekedar info, di sekeliling telaga banyak goa-goa untuk bersemedi (masa itu). Salah satu yang populer adalah Majapatih Gajah Mada, di mana patung berwarna emas menghiasi bagian depan. Mas Pur sendiri sempat berujar, “Telaga ini beda warna karena sebagai pintu masuk.”

Hutan nan asri, teduh, serta pohon-pohon tumbang dibiarkan alami bikin hati teduh juga. Belum lagi langit nan biru serta awan putih, satu kata, sempurna! Komplek ini lumayan luas, jadi enggak terasa kalau hari sudah semakin siang. Kami pun beranjak ke Dieng Plateau Theater (DPT), tempat putar film dokumenter. Tapi tunggu, bukan itu tujuan utamanya. Yudi mengajak kami ke suatu tempat, mendaki dan sedikit ‘nyasar’ tapi terbayarkan. A beautyfull view of Telaga Warna from above. Terrific! Tapi di saat itu pula, azan dzuhur berkumandang. Eng (maaf ya teman…), terpaksa melewati jam ibadah. Seakan lupa waktu dan tak ingin turun, dua mahasiswa Undip masuk ke TKP yang sama. Alhasil harus berbagi dengan request foto bareng dengan background Telaga Warna. Perfect! Tapi di-scene ini Eng mengambil posisi yang tidak menguntungkan (sorry broer, gak tahu kalo mata lo minus). Pasalnya tempat kami berdiri itu cukup curam dan tinggi.

Penampakan telaga warna dari atas

Usai jeprat-jepret kami kembali ke bawah untuk memesan kentang goreng, jamur tiram goreng serta bayam goreng. Wow! Harga nan murah plus porsi yang lumayan. Bapak penjualnya asli Dieng, begitu pula istrinya. Jangan heran kalau melihat dua putrinya memiliki rambut gimbal/gembel. Ini fakta, anak-anak asli Dieng, rambutnya kebanyakan gimbal dan asli. Diceritakan oleh sang ibu, anak akan mengalami gejala demam selama 15 hari sebelum akhirnya perlahan mulai menggumpal.

Sayang, putri pertamanya saat itu lagi ada acara, jadi tidak bisa mengambil gambar. Lain cerita ada seorang bapak tua, yang menjaga DPT. Si bapak ini bercerita kalau sejak jaman Belanda dan Jepang sudah menjaga Dieng. Wowww! Keren. Walau usia sudah lanjut tapi si bapak tampak gagah. Lepas itu kami pun beranjak untuk menyaksikan video dokumenter. Buat yang belum tahu, Dieng merupakan tempat persemayaman para dewa (masih inget gak, Yo? 😀). Di kawasan ini banyak uap CO2 yang beracun. Namun gas-gas itu sebagian dikelola dan menjadi energi listrik dan dipastikan jarang mati listrik.

Jam menunjukkan pukul 14.00. Saatnya kembali ke penginapan, bebersih, makan siang dan istirahat sejenak. Awalnya Mas Pur menyarankan kami untuk beristirahat full, karena esok pagi harus mendaki Sikunir. Tapi bukan wisata namanya kalau cuma tidur. Makanya usai bersih-bersih, kami memutuskan untuk mengunjungi kawasan Candi Arjuna. Di sini ada empat candi tersisa yang berdiri kokoh, candi Arjuna, Srikandi, Puntadewa dan Semar. Kompleks candinya sendiri tertata rapi dan apik. Dan waktu berlalu dengan cepat, karena kabut mulai turun dan mengisi kompleks candi hingga akhirnya persis waktu magrib kami baru meninggalkan TKP.

Acara petang kami akhiri dengan jalan santai, sempat juga bertemu dengan putri pasangan suami istri penjual kentang di DPT. Rambut gimbalnya panjang dan kabarnya saat festival Dieng (festival aqiqah pemotongan rambut-rambut gimbal), putri mereka ini yang paling besar. Karena sudah malam, tak mungkin juga kami ambil fotonya 😀 Ok, acara malam ini cukup makan malam dan beristirahat karena esok pagi kami harus mendaki. Eh eh… tapi ada X-Factor. Ahh.. Tidurrr sajaaa (tidur ayam sih tepatnya, masih bisa denger Ryo & Yudi cekikikan nonton X-Factor sampe jam 12. ck… ck.. ck… 😀)

Seperti apa serunya Sikunir? Sambung besok yaaaa….

Categories: 2013, Travelling | Tags: , , , , , , , , , | Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.