2013

Eksplorasi Nuansa Eksotis Kota Medan

Halaman nan luas dari Istana Maimoon

Enggak sabar buat eksplor Kota Medan, tapi ada kekhawatiran begitu tahu Gunung Sinabung baru saja meletus Minggu dini hari. Semoga semua baik-baik saja.

Minggu, 15 September 2013
Hati senang tak sabar di Minggu pagi itu. Sekitar pukul 07.00 kami sudah mulai terbangun, walau masih leha-leha di kasur. Namun, kekhawatiran muncul begitu saya membuka akun Twitter. Ada kabar bahwa Gunung Sinabung meletus waktu dini hari dan begitu menengok keluar kamar, memang kota terlihat mendung, tanpa matahari dan berkabut.

Kabar tersebut tentu saja bikin kami was-was, dalam artian jangan sampai mengganggu perjalanan pulang kami keesokan hari. Yuk, berberes dan bersiap diri. Acara bersih-bersih, packing ulang (kami masih dilema antara menginap semalam lagi atau langsung menuju Damri dan menginap di bandara saja), dan langsung menuju tujuan wisata.

Masjid Raya Kota Medan

First stop, Masjid Raya. Salah satu cagar budaya ini memang sangat dekat dengan hostel kami. Cukup berjalan kaki menuju perempatan dan voila… sampai! Sayang, kami tidak bisa memasuki kawasan masjid, karena larangan untuk berpakaian muslim terang-terangan terpampang di depan gerbang. Melihat dari beberapa turis yang mondar-mandir, mereka pun hanya berfoto dari luar saja. Sangat disayangkan, itu saya katakan karena sewaktu di Banda Aceh, saya masih bisa masuk hingga ke bagian halaman masjid. Ini, sama sekali tidak. Pun tidak ada solusi yang diberikan (atau masih terlalu pagi mengingat kami tiba pukul 08.30? Karena ada seorang teman yang mengatakan harusnya ada penyedia kostum muslim agar tamu bisa masuk ke dalam kawasan masjid).

Sudahlah, kalau tidak bisa masuk ya ndak apa. Walau agak sebal (boleh dunk ya, karena jauh-jauh datang tapi tidak bisa masuk, pun kalau diizinkan masuk tapi tidak semua teman bisa masuk, mana asik? 😀). Lepas dari masjid, kami pun memutuskan untuk menuju Istana Maimoon. Dengan bantuan Google Maps, jaraknya tidak terlalu jauh, hanya 5 menit berjalan kaki. Istana Maimoon ini didirikan pada 26 Agustus 1888 oleh Sultan Ma’moen Al Rasyid (Sultan Deli ke-IX) dan menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Deli pada masa itu. Lokasinya sangat luas, terbuka untuk umum dan bebas masuk tanpa banyak aturan. Tiketnya hanya Rp5.000 dan di dalam istana, pengunjung bisa menyewa kostum (Rp10.000) kerajaan dan berfoto ria.

Bertemu Mbak Hasti-CS Jakarta

Secara tidak sengaja, kami bertemu Mbak Hasti (CS Jakarta, yang juga lagi berada di Medan). Bercakap-cakap ringan, berfoto dan bertukar kontak untuk oleh-oleh kami lakukan. Jadwal Mbak Hasti memang agak padat, karena harus meninggalkan kota Medan sore hari dan mengejar kereta pukul 15.00 wib. Sementara kami, setidaknya masih panjang perjalanan untuk menikmati hari Minggu. Waktu untuk bercengkrama pun harus terputus dan kami meneruskan untuk melihat-lihat istana.

Berkat rekomendasi si penjual tiket, kami pun melangkah menuju Soto Anwar. Oh yeah, kami belum sarapan dan sepertinya sarapan soto cukup berat dan mengenyangkan dan akan terus tahan sampai siang. Berjalan santai dengan arahan yang pasti, kami tiba di kedai soto. Hm… Kedai ini sederhana dan khusus menyajikan soto bening. Tapi isinya silakan pilih, mau campur, ayam, udang atau daging. Semua bisa disajikan. Rasanya, memang luar biasa. Makyussss (kalau boleh mengutip kata populer Pak Bondan).

Perut kenyang, kami pun mulai melangkah. Kali ini tujuannya adalah Rumah China Tjong A Fie, arahan yang kami peroleh adalah melewati dua lampu merah dan rumah itu ada di sisi kanan. Baiklah, berjalan ringan, di sisi kanan kami melihat Gereja Katedral St Perawan Maria (yang akhirnya saya tahu, Tjong A Fie juga punya andil saat pembangunannya). Katedral ini tidak sebesar yang ada di Jakarta atau Bogor, atau daerah lainnya, tapi itu tidak mengurangi nilai sejarah ataupun fungsinya.

Tak jauh dari Gereja Katedral, kami bisa melihat rumah Tjong A Fie. Dari luar, rumah itu tampak ‘jadoel’ dibanding dengan bangunan-bangunan di sebelah kanan dan kiri. Tapi itulah ciri khasnya, rumah ini belum pernah mengalami renovasi dan saat ini dikelola oleh cucu-cucu Tjong A Fie. Untuk bisa masuk, tamu yang datang harus membayar Rp35.000,- (cukup mahal memang, tapi layak kok karena biaya itu digunakan untuk membayar gaji para pegawai pengurus rumah). Menariknya, sang penjaga tiket adalah cucu laki-laki Tjong A Fie (kebayang dong, betapa loyalnya keluarga besar ini untuk urusan menjaga histori keluarga). ”Silakan masuk, jika ingin guide nanti akan disediakan. Ditunggu di dalam saja,” terang cucu laki-laki Tjong A Fie itu ramah.

Rumah Tjong A Fie

Kediaman Tjong A Fie ini sungguh luas. Begitu masuk gerbang, tamu sudah disambut dengan taman kecil di bagian tengah. Di sini, tamu yang datang digiring masuk lewat pintu samping. Total ada 40 ruang, 35 di antaranya adalah kamar tidur dan dua altar sembahyang (di lantai dasar adalah rumah abu para leluhur dan di lantai dua adalah tempat sembahyang para dewa). Kesempurnaan rumah semakin lengkap dengan tersedia ballroom di lantai dua yang kerap digunakan untuk berdansa kala itu. Ketika itu, kami tiba bersamaan dengan rombongan para dokter yang entah dari mana. Ikut nimbrung dengan Mbak Guide (opsss.. saya lupa namanya si Mbak 😦), kami dibawa ke satu ruang ke ruang lainnya.

Kediaman ini secara resmi sudah menjadi museum, dan banyak informasi yang saya dapat. Salah satunya adalah Tjong A Fie ini pernah menjadi CEO di Bank Kesawan. Belum lagi secara keseluruhan mengikuti cerita dari si Mbak, semasa hidup Tjong A Fie telah mendatangkan 10.000 buruh asal China (untuk bekerja di perkebunan dan lain sebagainya. Bila banyak orang China di Medan, sepertinya berasal dari keturunan para pekerja-pekerja itu) serta betapa dermawannya Tjong A Fie. Seperti quote yang selalu diusung Sang Taoke.

There on the Earth where I stand. I hold the sky. Success and glory consist not in what I have gotten but in what I have given – Tjong A Fie”

Saat menikmati pesona rumah Tjong A Fie, saya tak sadar kalau Kak Irna sudah selesai misa dan menunggu di luar gerbang (Duhhh… Maaf ya neng, keasyikan foto dan tur rumah ini). Kami pun segera keluar untuk bertemu. Cepika-cepiki kami lakukan, ini memang pertemuan pertama kami tapi rasanya seperti sudah berteman lama.

Kak Irna membawa kami untuk menikmati sajian di salah satu kedai tertua di kota Medan. Bangunannya, termasuk meja dan kursinya, masih terkesan jadoel. Namanya Tip Top Restoran yang sudah berdiri sejak tahun 1934. Di sini menu andalannya adalah bakery yang konon masih menggunakan oven batu. Ini bisa dirasa ketika menikmati kue dan masih ada rasa ‘anyep’ mengitu dikunyah. Lantaran masih kenyang dengan soto, akhirnya kami hanya menyicipi Es Krimnya saja. Di sini es krimnya masih buatan tangan alias handmade, rasanya juga lumayan enak. Satu hal yang kurang, pelayanannya sangat luamaaaaa… Seriusan, bahkan pesanan risol sebagai camilan ringan tak kunjung datang hingga kami meminta bon.

Dari informasi Kak Irna, ada seorang rekan asal Surabaya yang akan bergabung bersama kami. Namanya Kak Eli, beliau adalah rekan Dee Jei yang adalah CS asal Yogyakarta. Kami pun langsung menuju Sun Plaza untuk menjemput Kak Eli. Memang, jadwalnya juga super padat dan setelah negosiasi waktu, akhirnya jam 16.00 wib sepakat sudah akan kembali ke hotel.

Graha Maria Annai Velangkanni

Gereja Katolik Graha Maria Annai Velangkanni

Tujuan kami berikutnya adalah Graha Maria Annai Velangkanni, sebuah Gereja Katolik bernuansa India alias bergaya Indo-Mughal di daerah Tanjung Selamat. Sekilas, bangunan ini bak sebuah kuil karena arsitekturnya yang unik. Tapi tidak, bangunan ini adalah sebuah gereja yang dibangun selama empat tahun dengan dana sebesar Rp 4 miliar. Resmi dibuka pada 1 Oktober 2005, interior gereja dipenuhi relief, lukisan dan ornamen termasuk 14 jendela untuk prosesi Jalan Salib. Di sini terdapat mata air yang muncul di bawah kaki patung Bunda Maria. Saya, Kak Irna dan Kak Eli pun tidak menyia-nyiakan waktu untuk doa sejenak di dalam gereja, serta menuliskan doa dan membawa air dari mata air tersebut untuk dibawa pulang.

Waktu yang singkat yang dipunya Kak Eli membuat kami harus bergerak menuju lokasi Pancake Durian berada. Oh yeah, Kak Eli berniat untuk membawa pulang pancake itu ke Surabaya. Kendati tahan hingga 12 -15 jam, tapi sepertinya saya enggan untuk membeli dan hanya mencicipi pancake itu di tempat saja. Usai order pancake, giliran berburu Bolu Meranti. Kue gulung ini sangat populer dan kami kira akan sulit mendapatkannya. Beruntung Kak Irna, tahu benar lokasi pabriknya jadi kami menuju ke TKP dan langsung order. Meski begitu, seperti antrian dalam apotik kami diminta untuk menunggu selama 15 menit. Duh… padahal Kak Eli tengah diburu waktu. Akhirnya kami putuskan untuk tinggal sejenak sementara Kak Irna mengantar Kak Eli kembali ke hotel.

Wow! Masing-masing membawa dus berisi bolu. Oalaahhhh… Ini pula yang bikin Kak Irna kaget melihat kami menenteng satu dus. Lucu sih (imbas karena dari Surabaya enggak bawa oleh2 nih). Perburuan berikutnya, bakpia dan kopi khas Medan. Lagi-lagi saya harus berterima kasih pada Kak Irna, kami dibawa ke sebuah pasar lokal. Di sini banyak tersedia bakpia dan jrenggg.. another kilo in our hand (lol hehehe…). Bergeser ke tepi, saya mencari di mana kedai kopi. Kopi… Kopi… Di mana posisimu? Dan saya pun mendapatkan kopi asli Sidikalang, yang merupakan kopi terbaik di Indonesia (wow, ‘m very lucky d’you know).

Buah tangan sudah didapat semua. Informasi tentang Damri yang ada di Medan Fair pun sudah kami sambangi. Menurut informasi penjaga bus, Damri terakhir adalah jam 22.00, alhasil masih ababil antara naik Paradep atau taksi Bang Putra. Sudahlah, sambil jalan saja. Sekarang saatnya untuk menikmati suasana sore di kota Medan. Tepatnya tak jauh dari kawasan Vihara Maitreya Cemara Asri, ada sebuah lokasi tempat jajanan sore. Karena itu adalah hari Minggu, sudah pasti penuh dan sedikit berjubel. Ada pecel, minuman, baso dan lain sebagainya, silakan pilih dan nikmati. Komplek jajanan itu berada di tepi sebuah danau yang ditempati ratusan burung bangau putih. Keren deh, padahal lokasi itu masih masuk dalam kawasan pemukiman Cemara Asri.

Di tengah bersantai menikmati danau, Kak Irna sontak menawarkan kami untuk menginap di rumahnya (wahhhh… Seriusan, kami sungguh beruntung). Tawaran itu tidak kami tolak, pun Kak Irna menjelaskan bahwa ia sedang sendirian di rumah dan tak ada salahnya jika kami menemani (Sip kak, terima kasih banyak).

Vihara Maitreya Cemara Asri

Bergerak menuju Vihara, Wow! Hanya itu kata yang bisa terlontar dari bibir saya. Sejak kecil, saya cukup akrab dengan vihara, dan vihara ini benar-benar luar biasa luas! (seriusan luas, soalnya ada taman dengan kolam ikan, taman bermain, tempat beribadah, bahkan asrama sekolah. Vihara ini dibangun pada 21 Agustus 2008, jadi belum terlalu lama, toh vihara ini sukses menjaring banyak pengunjung, terutama domestik. Ini bisa dilihat sewaktu kami berada di TKP itu (penuh dengan masyarakat yang berfoto-foto, yang tidak sedikit menyalahi aturan berfoto. Hehehehe…).

Baiklah, yuk cari makan malam. Tapi sebelumnya, Kak Irna minta ijin untuk pulang dan menyalakan lampu (boleh dong kak). Rupanya, kota Medan ini seperti dilanda kekurangan daya. Soalnya, sering kali mati listrik. ”Wah wah wah… Kalau di Jakarta, kami pasti sudah ngomel,” tutur saya. Ya sudah, karena mati lampu, akhirnya kami pun langsung menuju Tea Garden. Tempat ini direkomendasi oleh Kak Irna, karena selain enak, harganya pun sangat terjangkau. Dan benar adanya. Meski harus antri, tapi terpuaskan (andaikan kalian tahu porsi makan yang kami pesan. Hihihi… pasti bakal kaget—semoga Kak Irna gak kaget lihatnya).

Perut kenyang, hati senang, rute kami selanjutnya adalah kembali ke hostel untuk mengambil tas dan mengecek apakah Paradep bisa menjemput kami ke rumah Kak Irna. Nyatanya, tidak bisa! Paradep tidak mau menerima tiga penumpang dalam satu mobil, apalagi jam dini hari (hal itu diucapkan oleh sang supir). Sang penjaga loket pun menunjukkan raut kesal, karena hari sebelumnya ia mengkonfirmasi bisa, minimum tiga orang dengan biaya Rp 45.000/orang. Berupaya untuk memaklumi, akhirnya saya pastikan, ”Jadi enggak bisa nih? Kalau enggak bisa ya enggak apa.”

Konfirmasi yang sudah jelas, akhirnya kami putuskan untuk menghubungi Bang Putra. Seraya memberi informasi alamat serta ketegasan harga, kami pun siap dijemput pukul 02.30 wib. Oh yeah, tenang sudah. Sekarang kami siap pulang ke rumah Kak Irna, bersih-bersih, repacking akhir dan tidur. Opsss.. martabak kelewat dan lupa dibeli (ini pasti efek perut kenyang. Hahaha…)

Senin, 16 September 2013
Sesuai janji, Bang Putra datang bahkan membangunkan kami pukul 02.00. Padahal kami juga tidur ayam sih. Hehehe… Lengkap sudah perjalanan kami. Terima kasih tak terhingga untuk Kak Irna yang sudah membantu kami keliling kota dan menampung kami untuk rehat sejenak. Semoga silaturahmi ini tidak putus. Bila ada kesempatan kami pasti akan datang kembali, Bukit Lawang bisa jadi lokasi kunjungan berikutnya.

Bang Putra yang ramah (beserta temannya), mengantar kami ke bandara. Sambil bercakap-cakap, ia pun meminta bila ada rekan yang hendak ke Medan bisa menghubungi dirinya. Marketing mulut pastinya lebih yahud, plus kami puas dengan layanan sederhana ke bandara. Toh, kami tiba selamat sampai bandara hanya dalam waktu 45 menit dan sudah banyak penumpang yang menunggu di situ.

Ternyata oh ternyata, gate belum dibuka 😀 padahal waktu sudah menunjukkan pukul 03.00 wib. Selang 15 menit, akhirnya gate dibuka dan kami harus check-in ke counter. Wow! Di sini uniknya, lembar boarding pass yang sudah kami siapkan diganti menjadi kertas danbarcode yang ada akan membuka pintu menuju gate keberangkatan.

Bandara Kualanamu ini benar-benar keren deh (walau toilet dekat counter agak kotor versi Oot). Kami pun tiba di dalam gate 10, tempat Air Asia akan membawa kami ke Bandung. Iya, Bandung, 3 jam lagi ke Jakarta.

Overall, trip Medan kali ini bisa saya simpulkan sebagai trip yang penuh keberuntungan. Saya bertemu dengan teman-teman baru, pengalaman dan memori akan satu kota di Sumatera Utara pun bertambah. Again, ini hanyalah coretan memori saya, agar tidak hilang dan berlalu begitu saja. Maaf bila ada kata-kata yang tidak berkenan. Semoga pertemanan yang terjalin dalam trip kali ini akan terus berlanjut di lain aktivitas. Terima kasih.

–End of Medan Trip–

Categories: 2013, Travelling | Tags: , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , | Leave a comment

Blog at WordPress.com.